Ad Under Header

2 Juta Buruh Di-PHK: Pemerintah Tak Tegas dan Pengusaha yang Keras Kepala


Sebuah refleksi di hari buruh se-dunia: carut marut masalah perburuhan di Indonesia — #GagalkanOmnibusLaw

Oleh: Ramadhani. M
Foto: Ramadhani. M (pribadi).
BELAKANGAN ini kita banyak mendengar berita tentang buruh yang telah dirumahkan dan terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dari pandemi COVID-19, yang sudah mencapai kurang lebih 2 juta orang.

Berdasarkan data Kemenaker per 20 April 2020, terdapat 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan kena PHK akibat dari pandemi COVID-19 ini.

Saya rasa ini angka yang cukup besar dan ini akan menjadi masalah besar nantinya. 

Karena kenapa, setelah pandemi ini berakhir, atau keadaan kembali normal, maka kira-kira apa yang akan pemerintah lakukan? Mau dikemanakan ini buruh yang di-PHK dan yang dirumahkan.

Apalagi tidak ada jaminan bagi mereka buruh yang di-PHK bahwasanya setelah keadaan kembali normal mereka akan kembali diterima di tempat kerjanya masing-masing.

Pemerintah dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan sedang melakukan berbagai langkah alternatif untuk menghindari PHK, diantaranya menyarankan melakukan pengurangan upah, mengurangi shift kerja, mengurangi hari kerja, mengurangi jam kerja, dan meliburkan buruh secara bergantian untuk sementara waktu.

Dibandingkan PHK, saya kira langkah yang diambil pemerintah itu belum tepat, karena nyatanya sampai hari ini jumlah buruh yang di-PHK itu terus meningkat.

Pemerintah kemudian membuat program kartu prakerja yang katanya untuk mengantisipasi para buruh yang di-PHK.

Menurut saya ini juga merupakan bukan solusi yang tepat karena kartu pra-kerja yang diluncurkan itu tidak sebanding dengan pekerja yang dirumahkan dan di-PHK.

Berarti kita dapat menyimpulkan bahwasanya pemerintah itu kemudian gagal dalam hal mengatasi masalah yang terjadi saat ini.

Padahal seperti yang sama-sama kita ketahui bahwasanya negara dalam hal ini pemerintah itu hadir untuk mengakomodir kepentingan dan  permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Tapi nyatanya hari ini, pemerintah kurang tegas dalam menyikap permasalahan yang terjadi saat ini.

Pemerintah seharusnya lebih mengedepankan apa yang telah di atur dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 151 ayat (1) disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/ buruh, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar tidak PHK.

Di pasal 151 ayat (2) juga menjelaskan bahwa jika pemutusan hubungan kerja tidak bisa dihindarkan, maka wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/ buruh apabila pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh.

Ketentuan dari pasal 151 ayat (1) dan (2) itu berarti PHK tidak dapat dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih dahulu.

Kemudian, apabila hasil perundingan tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyesuaian perselisihan hubungan industrial. 

Yang dimaksud disini adalah mediasi ketenagakerjaan, konsoliasi ketenagakerjaan, dan arbitrase ketenagakerjaan.

Nah, ketika pemutusan hubungan kerja tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial berarti itu menjadi batal demi hukum. Yang berarti, secara hukum PHK tersebut belum terjadi.

Ini yang seharusnya menjadi landasan pemerintah untuk menekan pengusaha agar tidak seenaknya saja melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak.

Bukan malah sekedar menghimbau pengusaha agar tidak melakukan PHK dan merumahkan karyawannya.

Maka dari itu gagalkan Omnibus Law!

Tags:
OPINI
Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.