Hitler dan Media Massa: Saat Berita Membunuh Masyarakat Kita
Tulisan ini ditulis oleh salah seorang aktivis yang bergerak di bawah tanah semasa orde baru. Dia dikenal dengan nama Safi'i Kemamang asal kelahiran Lamongan, Jawa Timur, 5 Juli 1976, yang saat ini tinggal di Dili, Timor Leste.
Dia juga adalah sesosok pencipta lagi "Buruh Tani" pada tahun 1996, yang kini begitu akrab dinyanyikan oleh setiap individu atau kelompok massa aksi.
Safi'i, selain bekerja sebagai staf ahli di kementerian, aktivitas sehari-harinya tetap seperti dahulu yakni mengorganisir dan membangun organisasi massa perlawanan rakyat Timor Leste.
Foto: Hitler saat membaca sebuah koran harian, (int). |
Melihat situasi akhir-akhir ini, tiba-tiba saya teringat dengan kisah seputar Hitler, yakni penguasa Jerman yang terlibat dalam Perang Dunia II. Hitler, selain dikenal karena kekejamannya, juga dikenal sebagai sosok yang cerdas dalam hal mempengaruhi psikologis massa.
Konon, saat berlangsungnya perang dunia II, Hitler dikejutkan dan dibuat marah oleh 3 pasukannya yang dinilai melanggar perintahnya. Maka, Hitler pun memutuskan untuk menghukum mereka.
Cara Hitler menghukum dinilai aneh. Di mana setiap orang ditempatkan di dalam ruangan penjara (sel) secara terpisah-pisah atau sendirian. Dan, di setiap ruangan sel diputar musik klasik Jerman.
Selain itu, masing-masing diikat tubuhnya. Bukan hanya itu, sebuah pipa air kecil juga diletakkan di dalam ruangan sel dengan kondisi mengalirkan air.
Hitler mengatakan kepada mereka bahwa setiap ruangan sel mengalami kebocoran pipa yang berisi gas beracun yang mana akan dan bisa membunuh mereka dalam kurun waktu 6 jam.
Belum genap 6 jam, tepatnya 4 jam kemudian, Hitler pergi memeriksa ketiga pasukan yang dihukum tersebut. Hitler mendapati dua pasukannya meninggal dunia, dan yang satu menderita sakit kejang-kejang hingga menghempuskan napas terakhirnya.
Ternyata, apa yang diucapkan Hitler tersebut hanya sebuah tipuan. Dan, yang mengejutkan adalah bahwa "TEMA GAS" merupakan bagian dari "Taktik tipuan dan perang psikologis yang tujuannya untuk mempengaruhi pikiran ketiga pasukannya, sehingga pikiran mereka sendirilah yang membunuh diri mereka".
Bahwasannya, IDE GAS MEMATIKAN (takut keracunan, takut mati, dan kekwatiran lainnya) telah membuat tubuh ketiga pasukannya mengeluarkan hormon yang negatif pada jantung dan organ tubuh lainnya. Jadi, hormon negatif inilah yang telah membunuh ketiga pasukannya.
Lalu, apa hubungannya dengan media massa?
Saya sengaja mengutip kisah Hitler tersebut dalam artikel pendek ini. Tujuan saya satu, yakni untuk membenarkan apa yang sedang saya pikirkan.
Dan yang saya pikirkan adalah bahwa kebanyakan yang dilakukan oleh hampir semua media massa saat ini, hampir sama dengan yang dilakukan oleh Hitler terhadap ketiga pasukannya tersebut: MEMBUNUH KITA SECARA PELAN-PELAN!
Setiap hari, media-media massa (khususnya elektronik) menyebarkan ide-ide mematikan dan kata-kata beracun ke dalam pikiran kita. Mereka melakukannya secara berulang-ulang dan terus-menerus hingga kita mempercayainya.
Dengan demikian, karena kita percaya pada ide-ide mematikan dan beracun tersebut, maka tanpa kita sadari bahwa KEPERCAYAAN inilah yang kemudian membunuh diri kita sendiri.
Sebagai contoh, saat berlangsungnya PILPRES 2019 lalu, bagaimana media-media massa pendukung masing-masing calon presiden (Jokowi dan Prabowo) menggunakan kata-kata beracun seperti istilah “kampret dan cebong”.
Istilah ini, yang hingga detik ini masih membekas dalam pikiran kita. Sangat membekas! Begitu membekasnya, sampai-sampai ketika saya melihat Jokowi, maka kata pertama yang muncul adalah “cebong”. Begitu juga ketika melihat Prabowo, maka kata yang keluar dari mulut saya adalah “kampret”.
Apalagi di masa wabah virus corona ini. Kita tidak tahu, wujudnya virus corona itu seperti apa. Kita hanya melihat gambar foto bahwa virus corona itu mirip dengan bola yang bergerigi. Kita hanya membaca dan mendengar bahwa virus corona telah menginfeksi jutaan penduduk dunia dan membunuh ratusan ribu manusia.
Setiap hari, media-media massa “menyuruh” diri kita agar tetap tinggal di rumah, tidak berjabat tangan atau menjaga jarak sesama manusia, dan seterusnya. Yang mana, semua itu telah menimbulkan efek psikologis (kejiwaan/mental) seperti kekwatiran, ketakutan, kegelisahan dan lain sebagainya.
Reaksi psikologis inilah yang kemudian memicu keluarnya hormone negatif dari dalam tubuh kita. Jadi, jika pun kita mati, maka bukan mati karena virus corona tetapi karena hormone negatif tersebut.
Dan, masih banyak lagi kata-kata “penghancur” lainnya yang membuat diri kita mati dan tidak produktif, seperti:
1. Indonesia adalah Pancasila, NKRI harga mati.
2. Komunis itu tidak bertuhan, komunis itu jahat.
3. Orang Jawa itu penyabar, orang non-jawa itu pemarah.
4. Masyarakat Indonesia itu terbelakang, pemalas, dan seterusnya.
5. Goyang India itu enak, goyang Arab itu aserehe.
6. Musik rock itu tidak bermoral, musik dangdut itu kampungan.
7. Orang Amerika itu pintar-pintar seperti yang tergambar dalam film Hollywood.
8. Kita tidak bisa menciptakan apa-apa.
9. Pemimpin itu harus bertubuh tegap seperti sosok militer.
10. Yang masuk surga itu adalah penganut agama A, sedangkan penganut agama B tidak bisa masuk surga.
Contoh-contoh di atas adalah kata-kata yang kita baca dan dengar hampir setiap saat. Melalui apa? Melalui media massa. Mereka melakukannya secara berulang-ulang dan terus-menerus hingga kita mempercayainya!