May Day: Kronologi dan Tuntutan Buruh PT IWIP di Halteng
Catatan kaum pekerja di Halmahera Tengah pada peringatan May Day 2020.
|
Aksi buruh PT IWIP, pada Jum'at (1/5/20), [dok: Amorfati] |
SEJARAH hari buruh bermula dari peristiwa besar yaitu demonstrasi kaum buruh di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1886 silam, yang menuntut pemberlakuan delapan jam kerja.
Tuntutan tersebut terkait dengan kondisi saat itu, ketika kaum buruh dipaksa bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari.
Seruan pemogokan umum 1 Mei 1890 itu guna menuntut pengurangan jam kerja dengan delapan jam per hari atau 40 jam dalam minggu (lima hari kerja).
Kamudian ditetapkan menjadi standar perburuhan internasional oleh Internasional Labour Organization (ILO) melalui konvensi ILO Nomor 01 Tahun 1919 dan Konvensi Nomor 47 Tahun 1935. Khususnya untuk konvensi Nomor 47 Tahun 1935.
Ditetapkannya konvensi tersebut merupakan suatu pengakuan internasional yang secara tidak langsung merupakan buah dari perjuangan kaum buruh se-dunia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Penetapan 8 jam kerja per hari sebagai salah satu ketentuan pokok dalam hubungan industrial perburuhan adalah penanda berakhirnya bentuk-bentuk kerja-paksa dan perbudakan yang bersembunyi di balik hubungan industrial.
Selain itu, perjuangan kaum buruh di AS yang kemudian diikuti oleh gelombang kebangkitan gerakan buruh di negeri-negeri lainnya, juga telah memberikan inspirasi kepada golongan kelas pekerja dan rakyat tertindas lainnya untuk bangkit berlawan.
Di Indonesia, 1 Mei disebut juga May Day oleh pemerintahan Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU Kerja Tahun 1948.
Seperti halanya yang dilakukan oleh buruh PT Weda Bay Industrian Park (IWIP) di Halmahera Tengah (Halteng) dalam menyambut hari buruh se-dunia (May Day), yang juga sekaligus deklarasi Forum Perjuangan Buruh Halmahera Tengah (FPBH), Provinsi Maluku Utara (Malut), pada Jum'at 1 Mei 2020.
Kondisi Kelas Pekerja PT IWIP dan Seluruh Halmahera Tengah
Pimpinan aksi May Day di PT IWIP mengatakan bahwa resesi ekonomi yang terjadi hari ini yang berdampak buruk pada masyarakat telah membuktikan negara gagal menghadapi krisis. Diperparah dengan wabah virus yang membahayakan keselamatan seluruh masyarakat.
"Kaum buruh seakan dijadikan tumbal krisis, buruh tetap dipekerjakan saat situasi pandemi COVID-19 tanpa dijamin kesehatan dan keselamatannya," kata Bintang.
Bahkan, kata dia, sudah jutaan buruh yang di-PHK karena krisis yang semakin parah di negara saat ini, "Sementara pemerintah malah sibuk menggadang-gadang kebijakan pro investansi seperti Omnibus Law, yang niscaya akan jadi ancaman baru yang semakin menindas kelas pekerja," ujarnya.
Dia menerangkan bahwa kondisi buruh di berbagai perusahaan tambang di Kabupaten Halteng, misalnya di PT IWIP, delapan jam kerja tidak benar-benar diterapkan.
Lanjut Bintang, bahkan dari hasil investigasi Forum Perjuangan Buruh Halteng (FPBH), beberapa devisi misalnya Veronickel di IWIP, mempekerjakan buruhnya selama 12 jam.
Menurutnya, kasus kecelakaan kerja juga sering terjadi, kriminalisasi terhadap buruh, kasus PHK sepihak, upah pokok bagi buruh yang dijeda dan tidak dibayar.
"Serta kebijakan sepihak berupa memo yamg merugikan buruh, dan kasus-kasus lainya yang merugikan buruh tak terhitung lagi jumlahnya," imbuhnya.
Parahnya lagi saat ini, ditengah situasi pandemi COVID-19, "Puluhan buruh yang baru saja dipanggil kembali saat dijeda, kini dikarantina di bandara dan tetap dipaksa untuk bekerja mengumpulkan batu selama 14 hari tanpa diperbolehkan izin seharipun," beber Bintang
Kronologi Aksi Buruh PT IWIP
Sementara itu, salah satu massa solidaritas, Amorfati mencatat kronologi aksi buruh, tepat sekitar pikul 05:30 WIT, massa aksi buruh PT IWIP dari Weda Tengah berkumpul di portal pertama perusahaan tersbut.
Lalu pada pukul 05:35 WIT sekitar dua puluh buruh berkumpul dan langsung merapat ke titik aksi di perempatan perusahaan. Kemudian sekira pukul 08:01 WIT, buruh PT IWIP dari Weda Utara dan Weda Timur berkumpul bersama di perempatan perusahaan. Dan tepat pada pukul 08:15 WIT aksi mereka baru mulai.
"Setelah orator ketiga yang merupakan kordinator lapangan menyampaikan orasinya, massa aksi langsung menerobos gerbang dan langsung menuju Men-Gate Tanjung Uli," jelas dia.
Orasi sempat berlangsung beberapa lama di Men-Gate Tanjung Uli. Beberapa buruh juga sempat berorasi menyampaikan keluhannya termasuk Uchen (buruh yang tepat pada tanggal 1 Mei ini datang ke PT IWIP untuk menandatangai surat PHK-nya).
Tak lama berselang para buruh menerobos masuk dalam Men-Gate karena tuntutan mereka tak kunjung dipenuhi.
Masih di Men-Gate, salah seorang security diduga kuat memprovokasi massa aksi dengan melempari batu, massa akssi pun terprovokasi kemudian aksi baku lempar terjadi.
"Polisi sempat melepaskan beberapa tembakan peringatan ke udara," bebernya.
Namun massa aksi getol dan balik ke depan Men-Gate melakukan pembakaran terhadap bekas warung yang berada di lokasi perusahaan.
Polisi akhirnya menembakan gas air mata, sehingga massa aksi sempat berhamburan. Kemudian buruh kembali melanjutkan aksinya.
"Bahkan Kapolres setempat pun berusaha berdialog dengan buruh," kata Amorfati.
Tetapi karena tak menemui titik terang, massa aksi kemudian merubah rute aksi dan menuju ke bagian tungku Veronickel untuk memboikot aktivitas produksi.
Setelah itu massa aksi sempat melakukan rapat kecil dan bersepakat untuk menuju PLTU mematikan listrik guna melumpuhkan aktivitas produksi.
Buruh di devisi Veronickel pun bergabung bersama massa aksi dan berjalan menuju ke PLTU perusahaan untuk mematikan listrik.
"Sekitar pukul 10:01 PLTU pun mematikan listrik sehingga aktivitas produksi PT. IWIP lumpuh total," ungkapnya.
Setelah itu, massa aksi berjalan kembali ke perempatan dan melakukan rapat. Kemudian menyepakati untuk tidak bekerja alias mogok sampai tuntutannya terealisasi.
Sekitar pukul 13:10 WIT massa aksi akhirnya membubarkan diri dengan kesepakatan akan mogok kerja dan memblokade jalur masuk perusahaan dari Weda Tengah dan Weda Utara.
Sikap FPBH
"Maka dari itu melihat kondisi kelas pekerja yang semakin ditindas, untuk itu kami menyatakan sikap agar gagalkan Omnibus Law," tegas Bintang selaku pimpinan aksi.
Dia juga menolak PHK berkedok jeda di PT IWIP. Serta meminta agar dipenuhi hak maternitas buruh perempuan.
"Kembalikan izin resmi untuk buruh di PT IWIP," ujarnya.
Bintang mendesak agar PT IWIP harus melakukan lockdown perusahaan selama masa pandemi COVID-19, serta bayar upah pokok 100%.
"Stop karantina buruh di bandara PT IWIP, dan berlakukan delapan jam kerja di PT. IWIP, serta penuhi K3 untuk buruh," pungkasnya.
Dia juga menuntut agar dihentikan diskriminasi terhadap buruh TKA dan penuhi kesejahteraan buruh TKA di PT IWIP.
"Stop mengeluarkan memo-memo sepihak tanpa ada perundingan sebelumnya dengan kaum buruh," kata Bintang.
Lanjut, dia juga mendesak agar dihentikan kriminalisasi buruh, serta minta supaya dicopot Rosalina Sangadji selaku menejer HRD dari jabatannya.
"Kembalikan uang iuran seluruh anggota SPSI yang telah dipotong oleh serikat Rp 30.000 setiap bulan," tutup Bintang. (**)