Ad Under Header

Singkat Kata: Apa Jadinya Jika Bantuan Sosial Dikorupsi?

Narasi berikut adalah sebuat tulisan yang sangat singkat oleh: Ammar Prasetia. Dia mencoba memancing kita semua untuk mengecek kejujuran pemerintah di tengah bencana pandemi Corona.
Foto: kerumunan orang penerima bantuan (ilustrasi/ google).
PEMERINTAH telah mengeluarkan berbagai kebijakan demi meringankan beban hidup rakyat selama masa pandemi COVID-19, salah satunya dengan menerbitkan program bantuan sosial yang digelotorkan mulai dari pusat hingga tingkat desa.

Di sini terlihat sepintas pemerintah sepertinya sedang lelah dicabik-cabik oleh virus, istirahatlah. Asal jangan lupakan rakyat jika makan enak, meski hasil penggelapan setidaknya ajak-ajak jugalah kami ini.

Meskipun data-data penerima bantuan sosial ini masih sangat berantakan tapi pemerintah nampaknya berusaha membela diri. Andai kata, ada data terbaru yang dimiliki oleh seseorang maka data pemerintah saat ini tidak layak dipakai, serius ini. Utamanya di Sulawesi Selatan. Tapi untuk Kabupaten Sinjai angkap saja tidak termasuk yah, hehe.

Oke! Kita bahas yang terbilang kecil-kecil dulu, di tingkat desa saja. Perlu diketahui bahwa dana desa akan fokus ke tiga hal yaitu, penanganan COVID-19, program padat karya tunai desa, dan BLT.

Alokasi bantuan dibagi dalam tiga tingkatan dengan merujuk pada besaran anggaran dana desa. Jika anggarannya kurang dari 800 juta rupiah maka Bantaun Langsung Tunai (BLT) hanya dialokasikan sebesar 25 persen.

Sedangkan desa yang memiliki anggaran 800 juta hingga 1,2 miliar rupiah wajib mengalokasikan ke BLT sebesar 30 persen, kemudian desa yang anggarannya di atas 1,2 miliar maka 35 persen fokus untuk BLT.

BLT diharapkan dapat tersalurkan sesuai peruntukkannya, yang tentunya jadi dambaan bagi rakyat. Namun hal demikian cukup berbahaya karena pintu neraka terbuka lebar. Korupsi uang rakyat misalnya.

Merujuk pada beberapa peristiwa bantuan sosial yang disalahgunakan oleh oknum pejabat, baik pemerintah daerah maupun pemerintah desa.

Sebagai contoh, berdasarkan data yang diperoleh dari KPK beberapa waktu lalu, kasus penyelewengan dana Bansos yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dihukum 6 tahun penjara dan denda 200 juta secara sah dan meyakinkan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dana hibah dan Bansos.

Selanjutnya, mantan Sekertaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Abdul Kodir divonis 1 tahun 4 bulan penjata karena korupsi dana Bansos juga. Dan. mantan ketua DPRD Bengkalis, Riau, Heru Wahyudi pun divonis 18 tahun bui lantaram korupsi serupa.

Merujuk pada beberapa kasus tersebut tentu menjadi cermin bahwa BLT dana desa juga memiliki peluang yang sama untuk disalahgunakan oleh oknum tertentu.

Di samping itu, harus diakui bahwa bukan Indonesia kalau tidak ada kasus korupsi, atau saling keroyok karena proyek. Niat-niat jahat itu seperti sengaja diwariskan oleh Orde Baru.

Kita kembali ke pembahasan. Hal itu harus sesuai dengan data penerima yang sah dan layak (tepat sasaran). Paling tidak dengan menyesuaikan skala prioritas penerima BLT melalui dana desa, sehingga bisa dikatakan jauh dari perilaku fraud (penipuan terhadap publik) alias prank!

Itulah sebabnya, asas transparansi dan partisipasi rakyat dalam mengontrol proses penyaluran Bansos tersebut amat dibutuhkan. Serta peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga kontrol di tingkat desa juga sangat dinantikan.

Karena tidak menutup kemungkinan bahwa ada tikus di lingkup pemerintahan kita yang memiliki niat jahat ingin melumat habis Bansos kita.

Pemerintah tolonglah jangan korupsi dulu, fokus saja tangani Corona. DPR tak usah bahas yang lain, fokus saja bahas penanganan COVID-19.
Tags:
OPINI
Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.