Ad Under Header

Tuntut Pendidikan Gratis Selama Pandemi, Massa Aliansi Mahasiswa UMI Makassar Direpresi

Humas Aliansi Mahasiswa UMI, Faat menolak keras kebijakan Pimpinan Universitas Muslim Indonesia dengan mengatakan bahwa “Subsidi Rp300.000 bukan solusi di tangah pandemi”. Namun sialnya, karena sikap protes mahasiswa tak menuai jawaban, ataupun mendapat ruang audiensi untuk berbicara secara akademis dengan pihak birokrasi universitas terkait. 

Aksi mahasiswa di depan Rektorat UMI Makassar usai terjadi kericuhan, Rabu, (12/8). (SC-V)


Sejak COVID-19 ditetapkan sebagai pandemi global, berdampak amat besar bagi kehidupan rakyat. Mulai dari sektor ekonomi hingga pendidikan, yang berwujud nyata pada lahirnya aksi-aksi mahasiswa, utamanya di Makassar. 


Telah sekian bulan masyarakat berada lingkaran krisis, mulai dari kesehatan kemudian bergeser pada sosial-ekonomi. Hal itu berimplikasi pada mobilitas yang terganggu, serta adanya kegagalan besar bagi negara dalam memberikan simpul pengaman sosial untuk rakyat yang tengah babak belur dihantam resesi. 


Krisis sosial-ekonomi tersebut terlihat dari jumlah pekerja yang menurut studi Organisasi Buruh International (ILO) bahwa empat dari lima pekerja di dunia terdampak penyebaran virus Corona. Sedangkan di Indonesia sendiri telah ada peningkatan jumlah tenaga kerja yang dirumahkan dan di-PHK. 


Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) mencatat hingga 27 Mei 2020, ada sebanyak 3.066.567 pekerja terdampak PHK maupun dirumahkan selama pandemi. Data di atas tidak termasuk para buruh harian dan UMKM yang kehilangan mata pencahariannya. 


“Sektor Pendidikan” 


Pandemi ini juga memaksa pendidikan untuk menyesuaikan, agar para mahasiswa tetap terhindar dari paparan virus. Nah, di Universitas Muslim Indonesia (UMI) proses akademik dialihkan ke dalam jaringan (Online). Bukannya tanpa masalah, praktik tersebut justru ramai-ramai ‘diprotes’ efektifitasnya. 


Pasalnya, berdasarkan mini-riset Alinasi Mahasiswa UMI menemukan kesimpulan bahwa praktik kuliah online yang berlaku di UMI itu tidak efektif, dan justru disinyalir malah menambah beban mahasiswa dan keluarganya. Sementara subsidi yang dikeluarkan oleh kampus hanya sebesar Rp300.000, juga dinilai tidak mampu menutupi kebutuhan mahasiswa dalam mengikuti proses perkuliahan. 


“Subsidi tersebut kami gugat kepada Rektor UMI atas kebijakan irasional yang telah dikeluarkannya. Akan tetapi, Rektor justru menghindar dan tidak ingin bertemu. Padahal darf kajian akademik terkait bantahan kebijakan irasional dari rektor telah diterimanya. Ini menujukkan sikap anti akademik dan anti dialogisme,” papar Faat. 


“Sebuah Sikap Anti-Kritik” 


Tindakan ‘anti-demokrasi’ juga ditunjukkan oleh pihak kampus kepada para mahasiswa yang menyuarakan pendapatnya. 


Para peserta aksi dari Aliansi Mahasiswa UMI diduga kuat mendapat respon intimdatif dari hampir setiap fakultas masing-masing. Intimidasi tersebut berupa; surat teguran keras serta ‘ancaman’ ditahan ijazahnya. 


"Padahal menurut konstitusi, kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindingi oleh Undang-Undang. Kritik terhadap kebijakan rektor dari mahasiswa merupakan implementasi dari kebebasan mimbar akademik yang juga dilindungi Undang-Undang,” ujar Faat. 


“Represifitas Kampus” 


Pada Rabu, 12 Agustus 2020, mahasiswa UMI Makassar melakukan aksi mulai dari siang sampai malam hari demi keinginannya menemui rektor. Menurut Rafi yang merupakan Juru Bicara Aliansi bahwa hal ini adalah sikap politiknya. 


“Aksi hingga malam itu adalah sikap Alinasi, karena massa aksi ditutupi pagar oleh pihak keamanan rektorat, makanya kami memilih bertahan karena ithikad kami hanya ingin berdialog secara terbuka dengan Rektor memperseoalkan kebijakan subsidi Rp300.000 itu,” tutunya. 


Selain itu, pihaknya juga meminta penjelasan rasional dari Pimpinan UMI Makassar mengenai kebijakannya. 


"Kami juga meminta transparansi anggaran, supaya kita bisa musyawarah mufakat bersama soal berapa persen subsidi yang seharusnya dikeluarkan kampus sesuai kemampuan objektifnya mahasiswa. Begitu!,” tegas Rafi.


“Tuntutan Mahasiswa UMI” 


Sebagai Jubir Aliansi, Rafi mendesak Rektor UMI untuk segera membuka ruang dialog bersama mahasiswanya. Dan juga, dia mengecam segala upaya pengekangan ruang demokrasi dan pengkerdilan mimbar akademik yang dilakukan oleh birokrasi kampus UMI. 


Pertama, gratiskan biaya penyelenggaraan pendidikan UMI selama pandemi. Kedua, buka transparansi anggaran kampus UMI. Ketiga, segera evaluasi kuliah daring yang tidak efektif di UMI. Keempat, wujudkan demokratisasi kampus UMI.  


________________________________________________________

 

Lampiran 


• Silahkan diakses draft kajian Aliansi Mahasiswa UMI melalui link berikut ini; http://tiny.cc/KajianBPPUMI 


• Rekaman Video represifitas massa massa aksi Aliansi Mahasiswa UMI di bawah ini;

Rekaman video detik-detik kericuhan terjadi di depan rektorat UMI Makassar, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu, (12/8/2020) malam. Sumber: Aliansi Mahasiswa UMI.




Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.