Hilangnya Legalitas Pemerintah Desa dalam Merumuskan Anggaran Musrembang
Arjuna Ginting (Kordinator Suara Indonesia Kabupaten Sinjai)
OPINI, Sulselpos.id--Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) merupakan agenda tahunan, dimana warga saling bertemu mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dan memutuskan prioritas pembangunan jangka pendek.
Ketika prioritas telah tersusun, kemudian diusulkan kepada pemerintah dilevel yang lebih tinggi dan melalui Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA), usulan masyarakat dikategorisasikan berdasar urusan dan alokasi anggaran.
Namun ketika diamati, praktek-praktek musrenbang Kelurahan/Desa, tampak menyalahi mekanisme baku yang telah digariskan.
Mengapa, musrenbang Kelurahan/Desa yang seyogyanya forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) Kelurahan/Desa, yang sebelumnya diawali dengan mekanisme musyawarah tingkat lingkungan, dusun atau rukun warga (RW).
Menurut ketentuan bahwa sebelum Musrenbang tingkat desa harus diadakan musyawarah di tingkat struktur kecil warga yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat (misalnya kelompok tani, kelompok nelayan, LSM perempuan, kelompok kepemudaan dan lain-lain).
Dari Hasil musyawarah dari tingkat kelompok kecil inilah yang dibawa ke Musrenbang Desa meliputi usulan tentang daftar masalah dan kebutuhan serta gagasan/ usulan kegiatan prioritas masing-masing Kelompok kecil.
Akan tetapi forum Musrenbang terbukti telah mengandung sejumlah kelemahan di hampir semua levelnya. Di level Kelurahan/Desa proses musrenbang mengalami distorsi dalam pelaksanaannya.
Kendala utama ditingkat kelurahan/desa yang diidentifikasi ialah menyangkut kurangnya dilibatkan unsur stakeholders di tingkat Kelurahan/Desa di dalam penyusunan Musrenbang Desa.
Musrenbang desa hanya disusun oleh sebagian elite di desa tersebut, bahkan di banyak kelurahan/desa hanya melibatkan pimpinan kelurahan/desa.
Dengan demikian, proyek yang diusulkan juga menjadi bias kepentingan elite kelurahan/desa.
Akibat kelemahan praktek mekanisme musrenbang tersebut maka Musrenbang Kelurahan/Desa gagal mencapai tujuan idealnya.
Pertama, untuk menampung dan menetapkan kegiatan prioritas sesuai kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari musyawarah perencanaan pada tingkat di bawahnya (Musyawarah Dusun/kelompok).
Kedua, gagal menetapkan kegiatan prioritas Desa yang akan dibiayai melalui Alokasi Dana Desa yang berasal dari APBD Kabupaten/Kota maupun sumber pendanaan lainnya.
Ketiga, menetapkan kegiatan prioritas yang akan diajukan untuk dibahas pada Forum Musrenbang Kecamatan (untuk dibiayai melalui APBD Kabupaten/Kota atau APBD Provinsi).
Distorsi hasil musrenbang Desa berlanjut ketika musyawarah memasuki level Kecamatan. Di tingkat kecamatan kerap terjadi distorsi atas usulan Musrenbang desa, karena apa yang diusulkan tidak sepenuhnya dapat diserap untuk didanai.
Belum lagi, ketika proses akumulasi usulan-usulan masyarakat dari Kecamatan ditingkat Kabupaten, satuan-satuan kerja (Satker) yang telah memiliki agenda program kegiatan, justru mementahkan usulan dari bawah yang merupakan stakeholders di tingkat desa dan kecamatan.
Akibatnya, program-program pembangunan yang diusulkan oleh Desa menjadi serba tidak pasti, tergantung apakah akan diserap oleh satker melalui dana APBD ataukah tidak.
Ketidakpastian ini menyebabkan musrenbang bagi proses pembangunan di daerah dianggap antara ada dan tiada.
Oleh karena itu, tidak heran bila dalam kasus-kasus tertentu program yang tidak pernah diusulkan pada Musrenbang Desa, tiba-tiba harus dikerjakan oleh pihak Desa karena program tersebut diusung langsung oleh satuan kerja dari Kabupaten.
Distorsi semacam ini bisa pula muncul akibat intervensi kekuatan dan kepentingan politik tertentu, yang biasanya dilakukan pegawai
kabupaten, elite kecamatan, atau anggota DPRD, yang memasukkan program tertentu dengan latar belakang kepentingan politik dan ekonomi tertentu.
Intervensi demikian, umumnya bisa muncul sejak proses musrenbang di level kecamatan.
Implikasi yang nampak dari pemetaan masalah musrenbang adalah forum musrenbang desa bagaikan hanya sekadar rutinitas tahunan.
Model perencanaan pembangunan semacam ini cenderung menyebabkan desa tergantung pada dana pembangunan dari pemerintah daerah yang modelnya antara satu desa dengan desa lainnya. Inovasi pembangunan tidak terjadi pada model pembangunan yang dirancang bottom-up ini, tapi pada kenyataannya bersifat top-down disisi lain.
Menjadi kenyataan ironis ketika program-program yang dilakukan kurang menyentuh masalah yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat desa.
Tulisan di atas Sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Tags: