Harga Minyak Turun, Tapi Masih Panic Buying
OPINI, Sulselpos.id - Tingginya harga minyak akhirnya direspon oleh pemerintah dengan subsidi dan penetapan satu harga tanggal 20 Januari 2022 lalu. Efeknya, harga minyak yang dulu selangit menjadi lebih terjangkau.
Meski harga baru ini awalnya hanya bisa didapatkan di ritel-ritel modern, tapi telah membuat fenomena baru di kalangan ibu-ibu.
Pembatasan jumlah yang bisa dibeli per konsumen hanya 2 liter/konsumen, sehingga membuat beberapa ibu membuat strategi baru dalam membeli.
Salah seorang ibu yang dijumpai oleh penulis menuturkan bahwa saat belanja dia membawa anak dan suami tapi masing-masing melakukan transaksi sendiri agar jumlah minyak yang dibeli menjadi banyak.
Tentu tak salah apa yang dilakukan oleh ibu tersebut, yang mengherankan adalah fenomena seperti ini terjadi dimana-mana bahkan di beberapa tempat jauh lebih parah.
Seorang ibu bahkan pernah mengunggah di akun media sosialnya bahwa dalam sehari dia bisa mendapatkan 96 liter minyak goreng, dengan menggunakan strategi yang sama.
Dia mengaku bahwa minyak goreng tersebut untuk konsumsi sendiri, bukan untuk dijual kembali. Yang jadi pertanyaan, untuk apa menumpuk barang sebanyak itu?
Fenomena panic buying ini bukan hanya kali ini terjadi. Awal pandemi lalu, hal ini juga terjadi untuk beberapa produk tertentu seperti masker, hand sanitizer, dan susu.
Apa itu panic buying? Panic buying adalah pembelian produk tertentu secara berlebihan atau penimbunan produk karena didasari rasa panik dan takut yang berlebih.
Tindakan ini terjadi karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau kenaikan harga pada barang tersebut. Hal ini muncul sebagai langkah antisipasi akibat telah terjadinya suatu bencana atau menghadapi bencana tertentu.
Tentu saja fenomena panic buying ini memiliki dampak buruk karena akan menyebabkan tidak stabilnya perputaran stok barang dan penyebarannya pun tidak merata.
Akibatnya, banyak yang kesulitan mendapatkan produk tersebut karena telah diborong oleh orang lain.
Bukan tidak mungkin,aka nada pihak yang dengan sengaja membeli produk saat harga turun seperti saat ini untuk kemudian dijual saat harga naik lagi.
Rasulullah telah melarang praktik ikhtikar, yaitu secara sengaja menahan atau menimbun (hoarding) barang, khususnya pada saat terjadi kelangkaan barang, dengan tujuan untuk menaikkan harga di kemudian hari.
Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu melainkan berdosa” (HR Muslim Nomor 1605).
Hadis lain yaitu “Orang yang mendatangkan barang akan diberi rezeki, dan yang menimbun barang akan dilaknat,” (HR Ibnu Majah Nomor 2153).
Apakah semua penimbunan dikategorikan ikhtikar yang dilarang? Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih adalah apabila memenuhi kriteria berikut, diantaranya :
a) Menimbun untuk dijual, yakni membeli saat harga rendah dan menjualnya saat harga tinggi dan langka.
b) Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain-lain.
Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat, maka itu tidak termasuk menimbun.
Dari fakta yang terjadi, terlihat bahwa subsidi terbuka yang dilakukan pemerintah terbukti bukan solusi meski dengan dalih membantu masyarakat karena melambungnya harga minyak goreng.
Hal ini berpotensi dimanfaatkan oleh oknum yang tak bertanggung jawab untuk menimbun produk sehingga mempengaruhi kestabilan harga.
Tapi kita pun tak lantas sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang mengalami panic buying. Mereka hanya korban dari sistem kapitalis yang sudah lama diterapkan oleh negara kita ini.
Yang sepenuhnya bertanggung jawab adalah negara/pemerintah, karena tugasnya jelas mengurusi semua urusan rakyatnya dengan sebaik-baiknya.
Faktanya, sejak 2006 Indonesia menjadi salah satu negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Tapi mirisnya, pemerintah tidak mampu menjaga harga minyak goreng tetap stabil dan terjangkau.
Padahal, Indonesia bisa mandiri mengelolah luasnya perkebunan kelapa sawit sampai menjadi minyak goreng tanpa bantuan asing.
Dengan syarat perkebunan kelapa sawit dikelolah sepenuhnya oleh pemerintah, bukan malah diserahkan pada swasta atau korporasi yang memungkinkan memainkan harga demi keuntungan mereka.
Dengan demikian, pemerintah mampu menentukan harga menurut kesanggupan rakyat untuk membelinya. Sehingga tidak perlu lagi mengikuti harga CPO, kecuali ketika ekspor saja.
Dalam Islam, beralih fungsinya hutan yang luas menjadi perkebunan kelapa sawit masuk ke dalam kepemilikan umum yang harus dikelolah oleh Negara dan hasilnya sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat.
Penulis : Herawati Haris
(Guru SMP)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis