Sri Langka dan Potret Jerat Kapitalisme Ribawi, Apa Kabar Indonesia?
OPINI, Sulselpos.id - Sri Langka menjadi topik hangat beberapa saat terakhir setelah Sri Langka dinyatakan berada dalam krisis yang serius. Bagaimana tidak, negara itu memiliki utang sebesar USD 51 miliar atau setara dengan Rp 729 triliun (asumsi kurs Rp 14.300) dan tak mampu membayar bunga dari pinjamannya yang sebagian besar dikucurkan oleh IMF.
Sementara, sektor pariwisata yang selama ini menyokong ekonomi Sri Langka terseok sejak pandemik.
Nilai tukar mata uang Sri Lanka yang lemah menyebabkan biaya impor barang-barang kebutuhan dalam negeri semakin mahal dan membuat harga makanan melonjak mencapai 57 persen.
Kini, Negara tetangga India tersebut kesulitan untuk mengimpor bahan bakar minyak, susu, gas LPG, hingga kertas toilet.
Belum lagi masalah korupsi yang semakin membuat rumit dimana para pejabat sibuk memperkaya diri sendiri dan justru memperburuk perekonomian. Hal ini semakin menambah daftar panjang krisis yang terjadi di Negara tersebut.
Selain itu, kondisi ekonomi Sri Langka menyebabkan penduduknyaterancam kelaparan. Sebagian penduduk di negara tropis itu bisa menanam makanan mereka sendiri.
Namun PBB memperkirakan sembilan dari setiap 10 keluarga akan kesulitan untuk makan dalam sehari. dari segi pelayanan kesehatan, para dokter menyebutkan bahwa suplai obat dalam kondisi kritis.
Pemerintah Sri Lanka pun mengupayakan sejumlah hal. Di antaranya utang sebesar USD 4 miliar dari India dan juga harapan piutang dari IMF. Padahal sebelumnya, PBB telah mengucurkan bantuan agar Sri Lanka mampu memenuhi kebutuhan warganya hingga enam bulan ke depan, sejak Juni 2022.
Sri Lanka juga meminta bantuan pada negara besar lain seperti China, Amerika Serikat, Jepang, untuk utang hingga jutaan dollar. Disamping itu, Sri Lanka juga sedang bernegosiasi dengan Rusia, untuk bisa membeli bahan bakar minyak dengan harga diskon.
Buntut dari kondisi di atas adalah munculnya aksi protes dari dalam negeri Sri Lanka. Dikonfirmasi dari finance.detik.com (12/07/22), Hal itu membuat Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri dari jabatannya.
Utang juga jadi persoalan yang dihadapi Indonesia. Posisi utang pemerintah Indonesia per Mei 2022 mencapai Rp 7.002 triliun atau sepuluh kali lipat dari utang yang dimiliki Sri Langkah atau 38,88 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Hal ini menjadi alarm bagi Indonesia yang masih dicengkeram utang luar negeri dimana utang tersebut adalah utang berbunga. Karena tidak ada satu pun lembaga keuangan di dunia ini yang meminjamkan uangnya tanpa ribawi.
Sekalipun ada pengamat yang mengatakan, Indonesia masih 'jauh' dari yang dihadapi Sri Lanka, tetapi ini tidak boleh diabaikan.
Membangun Negara dengan utang merupakan cara pandang ekonomi kapitalis. Dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban berat pada generasi mendatang.
Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak. Penekanan pengeluaran biasanya dengan mengurangi subsidi untuk rakyat. Di sisi lain pajak makin tinggi.
Disamping itu, Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negeri-negeri berkembang pada hakikatnya adalah salah satu cara yang ditempuh untuk menjajah secara ekonomi negara-negara yang menerima utang tersebut.
Dengan kata lain, negara penerima utang akan dijadikan “sapi perahan” belaka, yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaan oleh negara-negara pemberi hutang.
Faktanya, jumlah pembayaran kembali cicilan dan bunga hutang-hutangnya telah menyedot porsi yang sangat besar dari belanja negara.
Inilah realitas utang yang sebenarnya. Semakin meningkatkan porsi utang semakin pula mengantungkan diri pada utang.
Hal ini semakin menurunkan independensi negara dalam sektor keuangan karena negara semakin membutuhkan utang untuk membiayai semua anggarannya.
Terlebih dalam sisi utang dengan bunga. Tentu hal ini semakin menjauhkan diri dari Rahmat Allah SWT karena Allah SWT sudah melarang kita untuk mengambil riba dari utang yang ada.
Bahkan, Allah mengancam akan memerangi orang yang tetap saja mengambil riba ini. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 279 yang artinya berbunyi, "Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya".
Hal ini semakin membuktikan ketidakberkahan dari utang yang dilakukan negara. Untuk keluar dari utang, sudah semestinya negara mengoptimalkan pendapatan negara dai sektor-sektor yang lain. Terlebih, sumber daya alam yang dimiliki negara sangatlah melimpah ruah.
Dalam pandangan Islam, Negara tidak menjadikan pajak dan utang sebagai pemasukan utama APBN. Bahkan, Islam tidak menjadikan utang sebagai pemasukan dalam kas negara atau Baitul Maal.
Adapun pemasukan tetap Baitul Mal di antaranya pertama, bersumber dari hak milik individu/kepemilikan individu berupa zakat dan shadaqah, kedua bersumber dari kepemilikan umum berupa SDA dan barang tambang besar, ketiga bersumber dari kepemilikan negara berasal dari ghanimah, khumus, rikaz, uryr, fai’, kharaj dan jizyah.
Dengan melakukan pengelolaan mandiri dan merdeka dari intervensi asing, tentu akan sangat mencukupi untuk membiayai semua anggaran negara.Sehingga negara tak butuh lagi utang luar negeri yang mencekik.
Hanya saja, keberadaan negara yang tak mau berutang serta melakukan pengelolaan sumber daya alam yang optimal demi kemaslahatan umat tentu saja hanya akan dilakukan oleh penguasa yang taat pada hukum Allah.
Yang memahami bahwa jabatan yang dimiliki adalah amanah Ilahi. Bukan tangga untuk memperkaya diri. Penguasa jenis ini pun hanya akan didapatkan pada sistem yang menerapkan syariat Islam dengan menyeluruh.
Sehingga dengan keimanan yang ada akan mampu menghantarkan pada kesejahteraan hidup untuk seluruh umat manusia.
Penulis : Herawati Haris, S.Pd
(Guru SMP Negeri 7 Sinjai)
Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis
Tags:
OPINI