Non-Biner Masuk Kampus, Kok Bisa?
OPINI, Sulselpos.id - Acara Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) UNHAS pekan lalu sempat diisi oleh peristiwa tak terduga yakni pengusiran seorang mahasiswa oleh dosennya. Hal ini terjadi karena mahasiswa tersebut mengaku bergender non-biner saat ditanya oleh dua dosen di depan ruangan. Video kejadian yang berdurasi sekitar satu menit ini sempat viral di media sosial.
Mahasiswa itu mengatakan dirinya berjenis kelamin laki-laki, tetapi ia tidak mengidentifikasikan dirinya dalam kelompok gender laki-laki atau perempuan. Sekalipun di KTP dan kartu mahasiswa tertulis laki-laki, tetapi MNA tetap mengatakan netral dan non-biner.Istilah ini kemudian dikenal non-biner.
Sejatinya tidak keliru yang disampaikan Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unhas Muh Hasrul, jika yang diterima di kampus tersebut adalah dua jenis kelamin manusia. Yakni, laki-laki dan perempuan. Anehnya, mengapa MNA justru memilih gender netral atau non-biner?
Apa itu Non-biner?
Dikutip dari halodoc.com, Identitas gender non-biner yaitu istilah untuk menggambarkan seseorang dengan identitas yang tidak mengacu pada perempuan atau laki-laki. Seseorang dengan identitas gender ini mengidentifikasi jika dirinya termasuk genderfluid, agender (tanpa gender), genderqueer, atau lainnya.
Seseorang yang menganggap dirinya non-biner masuk dalam kategori transgender. Namun, di masyarakat luas, istilah transgender didefinisikan jika seseorang telah berpindah kelamin secara nyata, terutama secara alat kelamin.
Pernyataan seseorang yang mengaku non-biner ataupun transgender sejatinya berangkat dari kebingungan berpikir mengenai jati dirinya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan dan negara hukum. Hukum mengatur masyarakat yang terdiri dari perempuan dan laki-laki. oleh karena itu, tidak dibenarkan jika ada yang mengingkari fitrah kelaminnya. Karena ini bisa membuat kekacauan hukum dan kehidupan.
Dibalik Eksisnya Kaum Non-Biner
Keberadaan kaum non-biner dimulai setelah tahun 1990-an. Mereka tidak mau mengidentifikasikan gendernya secara eksklusif sebagai perempuan atau laki-laki dan cenderung menentukan gendernya sendiri sesuai dengan kehendaknya yang berada di luar gender biner. Mengutip situs Medical News Today, non-biner bukan lah seorang transgender atau waria. Identitas mereka sangat bervariasi dan tidak dikelompokkan dalam dua spektrum saja.
Seorang non-biner dapat mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan dan laki-laki sekaligus (bigender), fluidgender yang fleksibel, tak bergender (agender), dan lain sebagainya. Dalam ilmu psikologi, gender non-biner dikenal juga dengan istilah genderqueer atau gender nonconforming.
Keberadaan kelompok non-biner adalah hal yang tabu karena tidak sesuai dengan fitrah pada umumnya. Di Indonesia, kelompok non-biner dikategorikan sebagai LGBTQ+. LGBTQ+ sendiri adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual, transgender, querr, dan seterusnya. Masifnya dukungan global terhadap LGBTQ+ telah membuka kran penyebaran idenya secara liar. Padahal LGBTQ+ bertentangan dengan syariat Islam dan mengancam peradaban. Gay dan lesbian meruntuhkan institusi keluarga yang bertujuan melestarikan keturunan. Dilain pihak, keberadaan kelompok ini berlawanan dengan norma agama, sosial, dan budaya, tetapi mereka sekarang sedang berusaha mendapatkan pengakuan atas nama kebebasan dan hak asasi manusia (HAM).
Sayangnya, penentang LGBTQ+ sering dicap sebagai pelanggar HAM. Sebaliknya, pelaku dan pendukungnya disebut sebagai pembela HAM. HAM merupakan ide yang muncul dari prinsip hidup sekularisme liberal. Dalam masyarakat sekular, seseorang bebas berperilaku termasuk dalam melampiaskan hasrat seksual. Dengan siapapun dan cara apapun.
Jelas pergerakan LGBTQ+ sangat berbahaya bagi masa depan negeri ini. Berdasar pola kampanye yang dilakukan, diduga kuat LGBTQ+ merupakan salah satu propaganda politik untuk merusak peradaban Islam. Jika perilaku menyimpang ini kian berkembang, siapkah kita menerima peringatan-Nya berupa bencana dan malapetaka? Sebagaimana yang pernah Allah SWT timpakan kepada kaumnya Nabi Luth as?
Ketegasannegara Menghapuskan LGBTQ+
Tidak bisa dipungkiri bahwa suburnya paham kebebasan di alam demokrasi, telah mendorong sebagian masyarakat semakin berani melakukan penyimpangan seperti ini. Apalagi, jika bentuk penyimpangan ini diakomodasi dan difasilitasi. Tentu, mereka tidak akan sembunyi-sembunyi lagi dan akan dengan lantang unjuk gigi.
Keberadaan sebuah negara, sejatinya berfungsi untuk mengayomi masyarakatnya. Membimbing masyarakatnya di jalan kebenaran dan ketakwaan. Bukan sebaliknya, menjerumuskan mereka ke dalam kehancuran dan kebinasaan. Apalagi diapresiasi dan mendapat legislasi.
Selain itu, seharusnya ada sebuah legislasi yang tegas untuk melarang berbagai bentuk penyimpangan yang merusak masyarakat ini. Bahkan, sanksi yang tegas juga harus diberikan bagi yang tetap melakukan pelanggaran. Bukankah telah datang peringatan Allah terhadap perilaku LGBTQ+ yang menyimpang ini. Dibinasakannya kaum Nabi Luth serta dijungkirbalikkannya negeri mereka telah menjadi saksi kemurkaan Allah atas perilaku menyimpang yang mereka lakukan. Bukti kemurkaan Allah itu pun, masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Oleh karena itu, kebijakan yang mengundang murka Allah ini, seharusnya dihentikan dan tidak perlu dilanjutkan. Wallahu a'lam bishshawab.
Penulis : Herawati, S.Pd.,M.Pd.
(Pemerhati Masalah Sosial, Guru SMPN 7 Sinjai)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis
Tags:
OPINI