Strategi Menuju Parlemen: Pola Tandem Parpol vs Single Fighting Caleg
Abd. Kahar Muzakkir, S.I.P., M.Si. (Direktur Social Politic Genius) |
OPINI, Sulselpos.id - Penyelenggaraan pemilihan langsung merupakan perwujudan demokrasi untuk menghasilkan wakil rakyat dalam lingkup kekuasaan eksekutif dan legislatif. Selain itu, Proportional Representation sebagai salah satu mekanisme dalam sistem pemilu juga mensyaratkan multipartai.
Dalam artian, sistem tersebut memberikan ruang yang lebih besar bagi Partai Politik (Parpol) untuk terlibat dan menjadi peserta dalam proses pemilu. Oleh karena itu, Parpol selalu menyosialisasikan nilai-nilai yang diidealkan masyarakat untuk membentuk dukungan dan memperoleh suara yang signifikan dalam proses pemilu di lingkup kekuasaan tersebut.
Pembentukan dukungan ini harus dimaknai sebagai strategi Parpol dalam memperoleh suara dengan menciptakan efek menurun pada berbagai tingkatan dan lingkup kekuasaan dalam proses pemilu. Pada posisi ini, Parpol selalu menjaga dan mempertahankan pemilih pendukungnya, termasuk keberpihakan pemilihnya dalam memilih di berbagai lingkup kekuasaan dan/atau tingkatan. Dengan demikian, Parpol menginginkan straight-ticket voting dan semaksimal mungkin meminimalkan split-ticket voting.
Di sisi lain, warga negara, masyarakat, atau rakyat sebagai pemilih memiliki kebebasan mutlak untuk memilih calon pemimpin yang mereka inginkan dalam lingkup kekuasaan dan/atau tingkatan yang berbeda. Calon yang mereka inginkan bisa berasal dari Parpol yang sama atau Parpol lainnya. Posisi Caleg dari Parpol yang berbeda membuat perilaku memilih menjadi tidak selaras dengan straight-ticket voting seperti yang diinginkan setiap Parpol.
Sebaliknya, tindakan pemilih yang membagi suaranya di antara berbagai Parpol dalam Pemilu di lingkup kekuasaan dan/atau tingkatan berbeda kemudian menjadi fenomena split-ticket voting.
Fenomena split-ticket voting memberikan analisis yang memadai untuk melihat kinerja Parpol dan mengaitkannya dengan berbagai lingkup kekuasaan dan/atau berbagai tingkatan dalam hal perolehan suara. Asumsi dasarnya jelas: Parpol sebagai organisasi harus mampu menangkap keinginan pemilih dan mengkonsolidasikannya secara internal untuk menekan fenomena split-ticket voting. Sebagai bagian dari keputusan internal, pola tandem merupakan faktor fundamental dalam upaya Parpol untuk mempengaruhi pemilih agar straight-ticket voting dapat terwujud.
Dalam lingkup kekuasaan legislatif, pola tandem menghubungkan beberapa Caleg internal Parpol yang berbeda tingkatan sehingga mereka bergerak bersama untuk membentuk dukungan politik dengan mengutamakan bendera Parpol-nya.
Pola tandem bisa menghemat pembiayaan politik dan menjadi tolak ukur dalam upaya menekan split-ticket voting. Dalam pengambilan keputusan dengan pola tandem, Parpol tentunya dihadapkan pada aturan sistem pemilu Open-List Proportional Representation dengan metode perhitungan perolehan kursi
Sainte Lague.
Sebagai contoh, Pileg 2019 di semua tingkatan di Kota Makassar menunjukkan hasil dimana Pemilih membagi suaranya sehingga pola tandem yang diupayakan Parpol masih kurang efektif.
Selain itu, terdapat 3 perubahan dari Pileg 2014 ke Pileg 2019 yang mempengaruhi keputusan Parpol dalam mengusung Caleg. Pertama, Pileg dan Pilpres dilaksanakan serentak pada Pemilu 2019, sedangkan Pemilu 2014 tidak dilaksanakan serentak. Kedua, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk Pileg DPR RI adalah 4%, meningkat 0,5% dari Pileg sebelumnya. Ketiga, metode konversi suara telah berubah dari Kuota Hare menjadi Sainte Lague.
Lebih lanjut, kurang efektifnya pola tandem dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkesinambungan. Pertama, upaya koalisi Parpol pendukung Capres dalam menciptakan efek ekor jas (coattail effect). Kedua, terdapat perbedaan ambang batas parlemen antara tingkat pusat (DPR RI) dan tingkat daerah (DPRD). Ketiga, ketatnya persaingan antar Caleg dalam internal Parpol pada tingkatan dan dapil yang sama.
Efek Ekor Jas
Dengan dilakukannya Pemilu serentak, Parpol berharap Pemilih yang memilih Capres juga akan memilih Caleg dari pengusung dan pendukung di semua tingkatan (DPR RI dan DPRD). Namun, di Dapil 1 DPR RI Sulsel, total perolehan suara Parpol pengusung dan pendukung Jokowi - Ma'ruf secara keseluruhan berjumlah 363.291. Sebaliknya, perolehan suara Pasangan Capres Jokowi - Ma'ruf sebanyak 304.115. Sementara itu, total perolehan suara Parpol pengusung dan pendukung Prabowo - Sandiaga berjumlah 295.424. Sebaliknya, perolehan suara Pasangan Capres Prabowo - Sandiaga sebanyak 416.990.
Data menunjukkan bahwa efek ekor jas kurang efektif dari kedua pasangan Capres terhadap Caleg DPR RI dari Parpol yang mengusung dan mendukungnya. Dalam hal ini, perolehan suara Capres Jokowi - Ma'ruf tidak lebih besar dan menghasilkan selisih 59.176 dari perolehan suara gabungan Parpol pengusung dan pendukungnya. Sebaliknya, perolehan suara Capres Prabowo - Sandiaga jauh lebih besar bahkan menghasilkan selisih 121.566 dari perolehan suara gabungan Parpol pengusung dan pendukungnya.
Efek ekor jas yang diharapkan Parpol melalui ketokohan Capres juga berlaku sama dalam pola tandem antar Caleg internal Parpol yang berbeda tingkatan.
Alih-alih mengambil keuntungan dari mencatut ketokohan Capres atau Celeg pada tingkatan di atasnya, Caleg Parpol di semua tingkatan lebih dominan bergerak dengan gaya personalisasi yang berpusat pada diri kandidat (candidate-centered) sehingga pada akhirnya pola tandem juga terkesan kurang efektif.
Perbedaan Ambang Batas Parlemen
Ambang batas dapat menjadi motivasi penting bagi Parpol dalam Pemilu, sementara Pemilih dapat meninggalkan Parpol dengan kemungkinan kecil melewati ambang batas tersebut. Oleh karena itu, Parpol yang ingin memperoleh kursi di tingkat DPR RI harus mampu mencapai ambang batas parlemen minimal 4%. Berbeda dengan tingkat DPR RI, ambang batas parlemen belum diterapkan secara berjenjang untuk tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.
Pada posisi ini, para aktor/elit daerah dari Parpol parlemen umumnya menyadari bahwa keberadaan wakil di tingkat pusat jauh lebih penting daripada di tingkat daerah. Sebaliknya, aktor/elit daerah dari Parpol baru umumnya lebih mengutamakan Caleg yang memenuhi syarat di tingkat DPRD ketimbang DPR RI karena sulitnya Parpol baru mencapai ambang batas parlemen tersebut.
Kedua situasi tersebut semakin mendorong para Caleg Parpol, khususnya di tingkat daerah untuk lebih mengutamakan dirinya sendiri agar dapat masuk sebagai anggota DPRD di Dapilnya masing-masing. Dalam hal ini, Caleg DPRD akan menilai bahwa pola tandem yang diupayakan Parpol agar straight-ticket voting dapat terwujud justru tidak berjalan linier dengan kepentingannya. Situasi ini pada akhirnya berkontribusi pada terciptanya split-ticket voting.
Kompetisi antar Caleg dalam Internal Parpol
Sistem PR tidak hanya memicu persaingan yang ketat antar Parpol, tetapi juga memicu persaingan antar Caleg di internal Parpol. Sebaliknya, persaingan di internal Parpol juga memicu split-ticket voting, sebagai kebalikan dari straight-ticket voting. Misalnya, Caleg A DPRD Provinsi tandem dengan Caleg A dan Caleg B DPR RI pada irisan Dapil yang sama. Tindakan yang dinilai strategis oleh Caleg A DPRD Provinsi justru memicu Caleg A DPR RI untuk tandem dengan Caleg DPRD Provinsi dari Parpol lainnya karena adanya persaingan dengan Caleg B DPR RI.
Efektivitas Pola Tandem
Pola tandem merupakan upaya menciptakan straight-ticket voting untuk memperkuat identitas Parpol. Akan tetapi, pola tandem yang tidak linier antar Caleg Parpol berbeda tingkatan, juga tidak dapat sejalan dengan efek ekor jas berbasis ketokohan. Demikian pula perbedaan ambang batas parlemen antara pusat dan daerah serta kuatnya persaingan multipartai sebagai akibat dari sistem Proportional Representation. Dalam hal ini, sistem tersebut juga mempertajam pola tandem agar semakin tidak linier antar Caleg internal Parpol yang berbeda tingkatan. Kondisi ini membawa konsekuensi bagi Pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Pemilih pada akhirnya lebih berpusat pada sisi kandidat daripada sisi Parpol-nya.
Oleh karena itu, Parpol harus memastikan bahwa semua elemen Parpol hingga Caleg di berbagai tingkatan agar secara kolektif melakukan pembasisan dan membentuk Party ID. Sebaliknya, jika Parpol tetap memerintahkan salah satu Caleg masuk ke suatu daerah tanpa Party ID untuk melakukan pola tandem.
Dalam hal ini, dengan sederet pertimbangan, para Caleg tersebut lebih memilih berkonsolidasi dengan beberapa tokoh masyarakat setempat untuk meningkatkan split-ticket voting agar mereka bisa masuk sebagai anggota DPR/DPRD di Dapilnya masing-masing.
Penulis : Abd. Kahar Muzakkir, S.I.P., M.Si.
(Direktur Social Politic Genius)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*
Tags:
OPINI