OPINI : Mencegah Perundungan di Sekolah
Jubaeda |
OPINI, Sulselpos.id - Kasus bullying atau perundungan terhadap anak-anak di lingkungan sekolah sebetulnya bukan hal baru. Berbagai upaya selama ini telah dilakukan untuk mencegah agar anak tidak menjadi korban tindak perundungan. Namun, entah apakah karena sudah menjadi subkultur di kalangan anak-anak, tindak perundungan selalu terjadi dari waktu ke waktu.
kasus perundungan terhadap siswa yang menyesakkan hati tidak hanya terjadi sekali dua kali tetapi berkali-kali. Sebagaimana yang biasa ditemukan tewas gantung diri di dapur rumah di halaman sekolah dan tempat lain. Mereka memilih mengakhiri hidupnya karena tidak kuat menahan malu dan sedih karena sering di-bully teman-temannya.
Kasus bunuh diri karena di-bully tidak hanya terjadi di satu kota tetapi ada di beberapa kota yang meninggal dunia akibat depresi setelah dirundung teman-temannya. Siswa depresi lantaran dipaksa melakukan hal-hal yang tidak baik oleh teman sebayanya.
Korban yang tak kuat menanggung malu dan ketakutan karena diancam teman-temannya akhirnya depresi. Korban benar-benar mengalami luka psikologis yang mendalam. Hingga akhirnya korban memilih untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.
Tindak perundungan terhadap siswa sesungguhnya adalah salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Tindak kekerasan yang dialami anak-anak bukan hanya pemukulan atau penyerangan secara fisik, tetapi juga bisa berupa kekerasan psikologis. Tindak perundungan termasuk kekerasan psikologis kepada anak yang makin subur, terutama ketika perkembangan media sosial makin pervasif.
Pelaku perundungan siswa di sekolah biasanya siswa atau orang lain, baik secara individu maupun berkelompok. Biasanya, tindakan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal karena pelaku umumnya dalam posisi (merasa) lebih superior. Mereka merasa lebih berkuasa atau lebih kuat bila berhasil menindas anak lainnya. Tindak perundungan biasanya dilakukan untuk meneguhkan kekuasaan atau sekadar ingin mencari perhatian dari lingkungan sosial di sekitarnya.
Faktor yang menjadi pemicu tindak perundungan biasanya adalah guyonan atau iseng yang kelewat batas. Namun, tak jarang juga dipicu kontestasi dan perebutan pacar yang lazim terjadi di kalangan anak dan remaja. Motif lainnya adalah material, yakni melakukan pemalakan untuk mencari keuntungan ekonomi.
Tindak perundungan sering kali mengakibatkan korban merasa takut, terancam, atau setidak-tidaknya tidak bahagia. Tidak jarang, tindak perundungan mengakibatkan korban tersakiti, terluka, dan bahkan mengalami depresi. Dalam tindak perundungan dikategorikan sebagai perilaku antisosial atau misconduct behavior.
Pelaku menyalahgunakan kekuatannya kepada orang lain yang lemah, secara individual ataupun berkelompok, dan biasanya dilakukan berkali-kali.
Meski di Indonesia belum ada angka pasti berapa banyak terjadinya kasus tindak perundungan di sekolah, ada indikasi kasus perundungan ini meningkat dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu orang tua harus mengontrol anaknya setiap hari agar kasus bullying ini tidak merusak psikologis anak dan tidak bertambah.
guru juga harus menyosialisasikan secara jelas dan tegas kepada siswa bahwa tindak perundungan adalah perilaku yang tidak bisa diterima sama sekali.
Guru juga harus mengajak siswa berani bersuara melaporkan tindak bullying yang terjadi di lingkungannya. Dan, kemudian secara bersama-sama melawan segala bentuk perundungan yang membuat siswa mengalami trauma.
Jadi mengingat pelaku tindak perundungan sering kali didorong subkultur sok jagoan dan semangat untuk mencari perhatian, upaya penanganan kasus ini harus ekstrahati-hati. Menghadapi pelaku bullying secara konfrontatif niscaya malah akan membuat pelaku bangga dengan apa yang dilakukan.
Menantang dan menghukum pelaku bullying di depan umum, apalagi di depan siswa lain, justru akan berisiko membuat pelaku besar kepala dan bahkan bukan tak mungkin malah berpotensi mengarah ke tindak bullying lanjutan yang tidak seharusnya terjadi.
Teguran kepada pelaku perundungan perluy diberikan secara proporsional dan lebih pada sanksi sosial yang mendidik daripada sanksi yang sifatnya menghukum.
Penulis : Jubaeda Wabula
"Mahasiswi UIAD"
"Prodi komunikasi penyiaran Islam"
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*
Tags:
OPINI