Ad Under Header

OPINI : Aku, Jati Diri dan Apa yang Aku Dapatkan

Annisa
OPINI, Sulselpos.id - Menjadi diri sendiri adalah suatu kebanggaan tersendiri dari dalam diri kita, ketika kita mengerti dan memahami kehidupan ini maka jati diri mereka akan terus menunjukan karakternya. Sehingga hal ini tidak mungkin dipisahkan sampai perubahan jaman. 

Jati diri kita sebagai manusia akan tercipta ketika kita mendapatkan suatu pengalaman yang panjang dan kita rangkum dalam tingkah laku yang mereka buat untuk menunjukan kepada dunia bahwa apa yang kita alami adalah kebenaran yang pantas didapatkan.

Semua itu memang menjadi sebuah misteri, ketika kita sudah memiliki keyakinan tentang jati diri kita sendiri, dan kita bersikap dengan hati yang selalu percaya diri. Mungkin diri kita sendiri mengetahui bagaimana kita bertindak sebagai orang awam yang senang dengan kepuasan itu sendiri. Bila kita senang dan menikmati sesuatu yang kita lakukan tersebut untuk membentuk masa depan kita saat ini demi kehidupan nanti, maka jati diri kita adalah perilaku kita yang sampai saat ini kita lakukan. 

Memang tidak mudah orang menemukan jati dirinya sendiri, namun itu akan mendapatkan suatu pemikiran yang berbeda dan perubahan yang sangat berbeda dari segi keberhasilan.

Mereka menemukan jati diri ditempat – tempat yang mereka temukan seperti disekolahan, kampus, rumah atau tempat tinggal, sampai dilingkungan masyarakat.

 Mungkin ditempat yang sepi seperti di hutan pun dapat mendapati jati diri, karena dengan jati diri itulah kehidupan berlangsung. Kita akan menjadikan kehidupan kita sendiri menjadi lebih baik dan lebih tenang ketika kita mendapatkan jati diri itu sendiri dengan lebih mudah.

 Sehingga hal ini akan menjadikan pengalaman kita semakin bertambah sesuai dengan keadaan yang anda alami.
Karena dengan jati diri kita sendirilah yang bisa merasakan pengalaman hidup yang menyenangkan bagi diri kita dan orang sekitar kita. 

Dengan memiliki jati diri inilah orang akan menghargai pengalaman hidup mereka sehingga dapat mereka kenang hingga akhir hayatnya. Dengan begitu kita akan menjadikan diri kita sendiri semakin percaya diri. Tidak harus cantik atau tampan untuk seseorang menjadi percaya diri, tetapi dari cara seseorang itu bersikaplah yang membuatnya menjadi percaya diri.

Jadi jika kalian memiliki rasa percaya diri maka jangan lupakan juga untuk tidak sombong dan terlalu over percaya diri. Karena itu juga akan membuat kita dihindari oleh teman-teman kita. Jadi percaya dirilah sekedar saja, dan tetap membuat bangga orang yang ada disekeliling kita.

Ketika masa-masa yang dinilai sulit itu menghampiri dan saat semesta menginginkan saya terus bertahan tanpa melawan, saya masih bisa bahagia karena seseorang datang untuk memberikan apa yang saya butuhkan. 

Sesulit apapun kondisinya, kehadirannya selalu membuat saya bahagia. Selama ia tetap datang, selama itu pula saya akan tetap merasa tenang. Namun, saya melupakan bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang dinamis dan fana. Saya melupakan bahwa setiap orang memiliki fokusnya masing-masing. Maka, ketika kenyataan tentangnya tak sesuai dengan apa yang saya harapkan, rasa sakit dan kecewa itu lantas menjalar.

 Makannya, jangan menggantungkan kebahagiaan pada seseorang!
Kemudian, perkataan Epictetus dalam Discourses yang dikutip dari Filosofi Teras karya Henry Manampiring pun menari di kepala, “Siapapun yang mengingini atau menghindari hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terus terombang-ambing, terseret oleh hal-hal tersebut”. 

Epictetus merupakan tokoh filsuf Stoa Filosofi Stoikisme mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan akan didapatkan ketika manusia mampu mengendalikan hal-hal di bawah kendalinya, bukan mengendalikan hal-hal yang tidak di bawah kendalinya. Dalam filosofi Stoikisme dikenal dengan istilah dikotomi kendali (dichotomy of control), sebuah prinsip yang menegaskan bahwa terdapat hal-hal yang bisa kita kendalikan dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Saat kita menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain, maka kita telah menyela prinsip dikotomi kendali. Sebab, perasaan dan pikiran orang lain termasuk bagian dari hal yang berada di bawah kendali kita, dalam arti kita tidak mungkin dapat mengendalikannya. Oleh karena itu, kita akan merasa kecewa ketika mendapati kenyataan bahwa seseorang yang kita gantungkan kebahagiaan kita padanya tidak melakukan hal yang kita ekspektasikan darinya. 

Alih-alih berusaha keras mengendalikan orang lain, akan lebih mudah dan masuk akal untuk mengendalikan diri kita sendiri. Dalam konteks ini berarti menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber kebahagiaan sejati.

Benar, kan? Bukankah melelahkan jika kita terus menerus menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain terlebih di zaman seperti saat ini? Hidup yang kita jalani seakan sesak padahal alam semesta ini luas.

Belum lagi perasaan sakit dan kecewa yang akan terus menerus kita alami sebab sifat manusia itu sendiri yang bisa berubah dan tidak kekal. Menjalani hidup tanpa menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain begitu tenang, ini juga berarti bahwa kita telah mampu mencintai diri sendiri. Terlihat kan, betapa damainya orang yang telah bahagia dengan dirinya, ia akan lebih bersyukur dan lebih menerima.

Penulis : Annisa (Mahasiswa KPI IAIM Sinjai)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*
Tags:
OPINI
Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.