Ad Under Header

Hak dan Suara Formatur di Pecundangi: IMM Apa Kabar ?

Edi Suyuti
OPINI, Sulselpos.id - Sejak 1912 didirikan dan di besarkannya Muhammadiyah mengalami ragam macam rentetan peristiwa. Menguji kelayakannya sebagai organisasi yang pada nantinya akan menghimpun ratusan juta anggota, ratusan Lembaga Pendidikan, Lembaga sosial, rumah sakit, panti asuhan, dan amal usaha lainnya, termasuk berhasil membesarkan ke tujuh ortomnya; Aisyiah, Pemuda Muhammmadiyah, Hizbul Wathan (HW), Tapak Suci, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). 

IMM dalam perjalanan kepemimpinannya telah mengalami banyak pembaharuan. Tak ingin ketinggalan dengan organisasi lain, IMM terus mencoba untuk meramu setiap dimensi yang jarang tersentuh oleh gerakan kepemudaan lainnya. Mulai dari aspek pengembangan ilmu, pengembangan system, pola perkaderan dan pembinaan, serta sampai pada aspek social of response terhadap problem kemasyarakatan yang mendaging di meja-meja para fakir dan miskin jarang di kaki-tangani oleh empati pemerintah, bahkan yang tidak sama sekali. Namun terdapat sebuah perkara yang menjadi cukup _a lot_ dalam kancah perjalanan sejarahnya, kepemimpinan dalam IMM menurut Kuntowijoyo masih sangat tersentralisasi pada kepentingan-kepentingan yang sifatnya pragmatis.

Menjadi hal yang menarik untuk mengupas persoalan kepemimpinan di IMM, nampaknya kepemimpinan di IMM masih mengadopsi model yang cukup tradisional. Misalnya saja seperti yang di ungkapkan oleh Kuntowijoyo di atas, atau sebut saja kepemimpinan ala sukuisme dimana putusan kepala suku adalah sesuatu yang tidak bisa di ganggu gugat.

Lain halnya dengan kepemimpinan yang kolektif dan kolegial. Tentu bukan menjadi sesuatu yang asing di kepala para anggota-anggotanya, terlebih yang telah menjadi pejabat di level kepemimpinan mana saja. Atau sebut saja kepemimpinan profetik seperti yang di sebutkan oleh Halim Sani dalam bukunya, di kalangan anggota dan atau simpatisan IMM buku ini sangat mahsyur bahkan sering di perbincangkan di tingkat perkaderan utama, pembina, sampai perkaderan pendukung. Manifesto GIP, siapa yang tidak kenal buku ini.

Sedikit mengupas tentang kepemimpinan yang mengedepankan hak otoritas ketua umum (sebut saja “ketum terpilih hasil musycab”). Jika kita menyandingkan tentang hak otoritas ketua umum (terpilih) dengan kepemimpinan kolektif-kolegial IMM, sebut saja di lingkaran musyawarah formatur (putusan Musycab) maka kita akan menemukan keduanya bertolak satu sama lainnya. 

Disatu sisi kepemimpinan kolektif-kolegial nampaknya agak modern dan relevan dengan perkumpulan/organisasi masa sekarang, sedang disisi lain kepemimpinan yang mengedepankan hak otoritas ketua (sebut saja dictator atau hak veto) mencerminkan kepemimpinan yang tradisional dan tentu tidak akan cukup adaptif untuk perkumpulan/organisasi masa sekarang. 

IMM sendiri memiliki 4 level kepemimpinan; pertama DPP atau Dewan Pimpinan Pusat, kedua DPD atau dewan pimpinan daerah, ketiga PC atau pimpinan cabang, dan terakhir PK atau pimpinan komisariat. Dan masing-masing memiliki porsi tugas dan fungsinya sendiri, termasuk dalam proses permusyawaratan. 

Musyawarah cabang IMM adalah musyawarah tertinggi di tingkat cabang yang merupakan Amanah dari seluruh kader yang ada di cabang tersebut. Dalam kontestasi musyawarah cabang, akan menghasilkan 1 orang ketua umum terpillih, dan 12 orang formatur. Beserta putusan-putusan lain yang berfungsi untuk kemajuan organisasi.

Sangat disayangkan jika hasil musyawarah yang disebut oleh Tanfidz IMM sebagai permusyawaratan tertinggi tersebut “di pecundangi” (Misalnya ketua terpilih tidak menimbang hak formatur dengan mengangkat tema “hak veto ketua”, atau “otoritas ketua”). 

Amanah formatur adalah kelanjutan dari Amanah musyawarah (Musykom, Musycab, Musyda, Mukhtamar) baik itu di tingkat pusat, daerah, cabang, dan komisariat. Sehingga menimbang putusan-putusan formatur dengan seideal mungkin adalah kewajiban formatur termasuk ketua umum terpilih. Sehingga menimbang semua gagasan formatur termasuk hak suara formatur adalah juga menjaga Amanah musyawarah tertinggi di setiap level kepemimpinan. Jika sejak awal hak dan suara formatur di nafikkan dengan dalih "hak veto" ketua terpilih, maka pertanyaannya adalah untuk apa di adakan pemilihan formatur?

Penyusunan pimpinan menurut Tanfidz IMM sedapat mungkin dari formatur terpilih. Namun mirisnya adalah jika ketua umum terpilih mengangkat “hak veto” tersebut dengan Menyusun secara eksplisit komposisi pimpinan dan tambah lagi jika salah seorang formatur tidak di angkat menjadi calon pimpinan yang akan menjabat. Kemudian di sisi lain ketua terpilih masih tidak menyepakati satu putusan di saat mayoritas formatur sudah menyepakati keputusan tersebut. 

IMM adalah milik semua kader, IMM bukan milik segelintir kelompok, apalagi milik perseorangan. Tugas menjaga dan merawat IMM adalah tugas semua kader IMM. Mulut pejabat memang tidak mematikan, akan tetapi putusan-putusannya yang akan menentukan hidup matinya organisasi. Olehnya dalam menentukan hidup mati IMM para pejabatnya mesti pandai dalam memutuskan putusan organisasi. 

Selanjutnya menyoal tentang integritas seorang pemimpin. Tentu semua yang terpimpin tidak menginginkan di pimpin oleh mereka yang tidak berintegritas. Karena integritas kepemimpinan akan banyak berefek terhadap yang di pimpin dan tentu organisasi yang di pimpinnya. Ketua, kepala, pemimpin, leader, atau apapun istilahnya mesti menunjukkan integritasnya. Jika tidak maka tidak ada pilihan selain menunggu hitungan umur organisasi tersebut.

Dalam menjawab kritikan Kuntowijoyo di atas mesti di mulai dari tingkat akar rumput, IMM harus melangkah dari sebuah diskursus politik menuju diskursus perkaderan dan pembinaan kader serta pengembangan organisasi. Sentralisasi kekuasaan/kepemimpinan yang di sebut oleh Kuntowijoyo di atas mesti di jawab dan di tolak secara kolektif.

Sebuah kutipan pesan  menyampaikan, "Di bawah pemimpin yang baik, anak buah bodoh pun ada gunanya. Tapi di bawah pemimpin yang bodoh, pasukan terbaik pun kocar-kacir…". Adalah instrumen tegas betapa pentingnya karakter seorang pemimpin. Integritas, konsisten, disiplin, visioner, dan memiliki mindset yang maju, memiliki visi yang maju di barengi dengan gerakan memajukan, memiliki visi menghimpun bukannya memecah, mengikat dan semakin mengeratkan ikatan bukan melepas tali ikatnya, netral dan tidak berberat sebelah, menjadi penengah bukannya larut dengan masalah.

Penulis : Edi Suyuti
(Ketua Pikom Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah FEB Unismuh)

*Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis
Tags:
OPINI
Top ad
Middle Ad 1
Parallax Ad
Middle Ad 2
Bottom Ad
Link copied to clipboard.