Akankah Lahir “Sebutir Garam”? Kedamaian dan Kesejahteraan Menjadi Secerca Harapan Masyarakat Indonesia
OPINI, Sulselpos.id - Pada abad pertengahan, garam adalah komoditas penting di wilayah mediterania dan laut merah hingga mesopotamia, Afrika Utara, India dan China. Garam dijuluki sebagai “Emas Putih”.
Garam memang fenomenal, memasuki tahun 1800-an harga “Emas Putih” itu masih empat kali lebih mahal daripada daging sapi. Bahkan menjelang abad ke-20, cetakan garam masih digunakan di abyssinia (Etiopia) sebagai alat transaksi di pasar tradisional.
Sebutir garam adalah pembawa rasa dalam kehidupan manusia, dan siapapun bisa menjadi “Sebutir Garam” yang penting dan berharga bagi orang lain. Pemimpin yang menjadi “Sebutir Garam” akan menunaikan kehendak yang baik bukan hanya bagi orang-orang yang berpihak kepadanya, melainkan juga kepada setiap orang yang beradah dibawah kepemimpinannya.
Ia memimpin dan melayani konstituen tanpa diskriminasi. Pemimpin yang menjadi “Sebutir Garam” adalah pemimpin yang cinta damai, tidak menebarkan hasrat jahat ataupun menghalalkan jurus-jurus fasik demi membidik kekuasaan semata.
Menjadi “Sebutir Garam” juga bukan berarti berkuasa dengan melaknatkan harga diri atau memberangus hak hidup para Kawula alit, wong cilik rakyat biasa dan lemah. Garam itu cinta damai, dan tentu tidak mudah menjadi garam yang cinta damai.
Ada harga yang harus dibayar di muka, dan yang termahal adalah kesediaan berdamai dengan diri sendiri untuk senangtiasa hidup damai dengan orang lain dan menjadi “Sebutir Garam” anda harus memiliki karakter sebagai garam yang asing, artinya terlebih dahulu menggarami diri sendiri tidak tawar tanpa rasa.
Tidak seorangpun pemimpin bisa “Menggarami” tanpa pernah menjadi “Sebutir Garam”. Anda tidak mungkin “menggaram” orang lain jika anda adalah garam yang tawar.
Anda mungkin tidak mencintai orang lain dengan memendam kebencian dan anda tidak akan mungkin membersihkan orang lain tanpa pernah bisa membersihkan diri anda sendiri.
Anda tidak mungkin merangkul orang lain tanpa memiliki tangan dan hati yang hangat. Anda tidak mungkin memimpin jika anda tidak bisa memimpin diri sendiri. Jika anda adalah seekor harimau yang berhasil memimpin sekawanan rusa yang ketakutan, itu bukan karena anda pemimpin yang perkasa, karena orang lain lebih lemah.
Pemimpin yang menjadi “Sebutir Garam” itu seperti seekor rusa yang memimpin kawanan harimau. Sebaris pepatah bijak mengatakan “an army of deer led by a lion is more to be feared than an army of lions led by a deer” sepasukan rusa yang memimpin oleh seekor singa akan lebih ditakuti daripada pasukan singa yang dipimpin oleh seekor rusa.
Pepatah bijak ini dengan tegas memberi pesan moral bahwa siapapun bisa menjadi pemimpin, namu tidak setiap orang mampu menjadi pemimpin yang efektif dan berpengaruh.
Meski tidak lebih perkasa dari harimau, rusa yang tanggu tahu cara memaksimalkan diri menjadi pemimpin yang baik. Seorang pemimpin yang baik harus Menggarami bukan saja orang-orang yang mencintai, menerima, dan mendukungnya akan tetapi juga mereka yang tidak mengenalnya, bahkan yang menolak dan memusuhinya.
Tahukah anda bahwa didalam “Sebutir Garam” terdapat kerendahan hati? Jika anda menjadi garam itu berarti perilaku anda haruslah seperti garam yang bekerja secara sembunyi. Takdir “Sebutir Garam” dipasir itu tersembunyi.
Tidak seperti terang yang memedarkan cahaya. Tidak seperti suar yang menavigasi kapal dilaut untuk merapat pada dermaga. Gsrsm itu tersembunyi dan memendam kerendahan hati. Garam memberikan rasa yang meresap kedalam makanan tanpa pernah menjadi makanan itu sendiri.
Jika anda menjadi “Sebutir Garam” anda harus merasuki kehidupan orang lain denga sikap hati dan pemikiran anda mempengaruhi orang lain dengan perilaku anda. Itulah peran “Sebutir Garam” rendah hati dan tersamar sumbangsih garam itu tersembunyi.
Garam adalah hakikat sejati servant leadership kepemimpinan yang melayani adalah menjadi “Sebutir Garam” merasuk kesemua rana kehidupan konstituen atau merapat pada rakyat yang dalam istilah pemimpin harus lebih bersikap horizontal. Jadilah garam secukupnya saja. Tidak kurang dan tidak berlebihan.
Seorang pemimpin adalah garam yang mematikan jika mengunakan kekuasaan untuk mengelabui, mengkremus, atau menindak hak hak rakyat. Ia memimpin hanya untuk berkuasa, menangguk kekuasaan semata.
Ia melayani hanya untuk dilayani, memberi untuk membeli kebebasan orang-orang agar bisa dikuasai. Jika demikia, kebaikan akan membunuh kebaikan hanya untuk melaknatkan.
Itulah laut mati laut asing yang terkurung tidak mengalirkan kebaikan untuk sekitarnya.
Meski menjadi “Sebutir Garam” itu sederhana, sekadar melarut kedalam atau merapat pada rakyat, ternyata yang sederhana tidak setiap pemimpin mau dan mampu menggarami meski menyadari itu adalah cara sederhana dalam memimpin.
Ini karena asing garam (kehendak berkuasa) telah mengalahkan peran garam (kehendak memimpin). Belajar menjadi pemimpin yang tidak menapik untuk menjadi “Sebutir Garam” yang merahmati dunia disekitar anda, secukupnya saja.
Penulis : Wawan Harun
(Pegiat Budaya dan Sejarah Lokal Sulawesi Selatan)