OPINI, Sulselpos.id - Setiap tanggal 10 Desember, dunia memperingati hari Hak Asasi Manusia. Namun, ditengah perayaan ini masih banyak tantangan yang dihadapi dalam upaya menegakkan HAM diberbagai belahan dunia.
Di Indonesia, peringatan ini menjadi momentum untuk merefleksikan sejauh mana negara telah berkomitmen dalam melindungi dan menegakkan hak-hak seluruh warga negaranya.
Pasca reformasi, Indonesia mendapat angin segar akibat kemajuan yang signifikan yang telah dialami dalam bidang demokrasi dan HAM seperti dibuatkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur berbagai hal terkait Hak Asasi Manusia, Lembaga HAM atau Komnas HAM yang dibentuk untuk meningkatkan perlindungan dan penegakkan HAM dan Pengadilan HAM yng dibentuk untuk menjamin pelaksanaan HAM dan rasa keadilan kepada masyarakat.
Meski demikian, berbagai kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi menunjukkan bahwa perjalanan menuju penegakkan HAM yang ideal masih panjang.
Sejarah mencatat beragam pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan hingga kini bekas lukanya masih terasa.
Seperti Peristiwa 1965, Tanjung Priok dan Tragedi Trisakti-Semanggi yang meninggalkan trauma mendalam bagi korban dan keluarga mereka.
Proses penyelesaian kasus-kasus tersebut masih berjalan lamban dan seringkali terkendala oleh berbagai faktor seperti tekanan politik dan kurangnya komitmen dari pihak berwenang.
Alhasil para korban dan keluargnya mendapatkan ketidakadilan selama bertahun-tahun dan telah mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Selain itu, kriminalisasi terhadap aktivis dan pembela HAM dalam beberapa tahun terakhir marak terjadi. Tindakan represif ini seringkali dilakukan dengan tuduhan yang tidak mendasar seperti makar atau penghasutan.
Kriminalisasi tidakhanya mengancam kebebasan berekspresi dan berserikat tetapi juga menciptakan rasa takut dikalangan masyarakat sipil seperti menurunnya partisipasi masyarakat dalam menyuarakan pendapat dan terlibat dalam kegiatan sosial dan pelemahan demokrasi yang diakibatkan atas adanya kriminalisasi sehingga menghambat proses demokratisasi dan pengawasan kekuasaan.
Dan yang terakhir adalah perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan atas hak-hak mereka termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam hingga banyak masyarakt adat yang menghadapi konflik agraria, diskriminasi dan kriminalisasi.
Komnas HAM dalam laporan persnya mengatakan bahwa tiga tahun terakhir, yaitu 2021-2023, Komnas HAM telah menerima dan menangani aduan sebanyak 1.675 dugaan pelanggaran HAM terkait konflik agraria dan SDA.
Kasus terkait agraria dan sumber daya alam merupakan salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan. Kasus-kasus ini meliputi konflik terkait pertanahan,
perkebunan, infrastruktur, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan pertambangan.
Terkait kekerasan dalam konflik agraria, Komnas HAM mengidentifikasi akar masalah di antaranya adalah ego sektoral antar kementerian dan lembaga, tata kelola yang belum tuntas terkait kawasan hutan dan non hutan.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana masih lemahny penegakkan dan perlindungan HAM di Indonesia. Olehnya itu, pada momentum peringatan hari HAM Internasional kali ini patut untuk kita renungkan bersama agar apa yang menjadi cita-cita dalam penegakkan HAM bisa terwujud.
Penulis : Ahmad Aidil Fahri
(Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin)
0 Komentar